Rumah
Tak Berjendela
Oleh:
Imayuima
Rapuh…
Mungkin
kata yang mewakili jiwaku kala itu. Fajar mulai menyapa dikala hati sedang
berduka. Hari itu, hariku terasa murka. Kilauan mentari tampak mulai
menampakkan sinarnya. Namun, tak begitu denganku. Senyuman yang biasa menghiasi
hari-hariku, hilang sekejap bagai tiupan topan yang menghantam kalbu.
Pagi
itu, ku dapati tubuhnya dingin diam membisu, terbujur kaku di pembaringan
terakhirnya. Hari itu adalah hari yang buruk bagiku. Aku tak percaya takdir
memilihku untuk menjalani ujian ini. Jantung seolah berhenti berdetak, lidah
kelu tak mampu berkata-kata.
Terbesit
di pikiranku, ini mimpi yang sangat menakutkan. Cinta pertamaku telah tiada.
Tak akan ada lagi pundak kokoh yang mengendong putri kecilnya. Canda tawanya tak
akan lagi ku dengar. Pria gagah berani, kepala keluarga yang begitu dicintai.
Tertegun sepi aku melepas kepergiannya, sajak berairmata kering merangkul
jasadnya. Ketulusan cintanya tak akan lagi menemani hari-hari ku.
Ingin ku gali gundukan merah di hari itu, aku
menyapa kidung kerinduan dalam kalbu kehangatan pelukan kasih sayangnya. Kala
itu, aku ingin terbang lalu menarik awan dan pergi bersamanya. Tak terpikir di
benak ini Bapak pergi secepat itu, ketika aku yang belum menemukan jati diri sesungguhnya,
masih memerlukan sosok Bapak yang menemaniku ketika aku akan daftar SMA,
berdiskusi tentang jurusan apa yang aku inginkan kelak di bangku kuliah,
melihatku mengenakan toga dan mendapatkan pekerjaan yang aku suka, hingga
menjadi wali di hari pernikahanku yang bahagia.
Malam
itu ternyata senyuman terakhirnya, senyum yang begitu semeringah, tak tampak
tanda Bapak akan pergi untuk selamanya. Senin malam pukul 11.00 wib, kabar
buruk itu tiba. Datang seorang warga yang mengabari kami jika ia menemukan
Bapak tergeletak di pinggir jalan dekat rumah. Bada Isya, Bapak memang pamit
untuk pergi bermain badminton bersama teman-temannya. Tidak ada firasat
apa-apa. Seperti malam biasanya, Bapak melakukan olahraga kesukaannya.
Sepertinya
Bapak ikhlas meninggalkan orang-orang yang ia cintai. Saat tangannya berpindah
ke atas dada untuk hembusan nafas terakhir, Bapak tersenyum bahagia. Malam itu,
mobil ambulans melaju kencang membawa jasadnya ke rumah sakit terdekat.
Bergegas
para medis menghampiri mobil ambulans yang terparkir tepat di halaman rumah
sakit, jasad Bapak yang kaku membisu segera dilarikan ke ruang IGD untuk
mendapakan penanganan medis lebih lanjut. Pikiranku kacau, memikirkan bagaimana
nasib kami jika Bapak meninggal. Aku menghampiri ibu yang terkulai tak berdaya,
memeluk dan mencoba menguatkannya.
Tiba-tiba
konsentrasiku buyar saat dokter berlahan berjalan keluar dari ruangan IGD, lalu
mendekati kami yang sedang dirundung kesedihan. Ku coba menarik nafas panjang,
menenangkan pikiran yang berkecamuk bagai benang kusut yang perlu dirapikan.
Sepertinya dokter itu mengetahui bagaimana perasaanku kala itu, ia mulai
berbicara dengan tenang, menyampaikan pesan yang harus kami dengar walau pahit
menyayat hati.
Sebenarnya
telinga ini tak sanggup mendengarnya, hati ini iba menerima kenyataan
sesungguhnya. Bagai petir menyambar tiba-tiba, aku harus percaya bahwa Bapak
telah tiada. Bapak pergi untuk selamanya, kembali menghadap Sang Pencipta.
Allah lebih sayang Bapak, untuk itu Dia memanggil Bapak begitu cepat hingga tak
sempat ia ucapkan selamat tinggal bahkan pamit kepada orang-orang tercinta. Aku
yakin, Allah punya rencana besar dibalik ini semua. Bismillah, aku ikhlas
mengantarkan Bapak ke pembaringan terakhir menghadap Sang Pencipta.
Malam
kelabu, waktu yang begitu sendu. Berurai airmata aku merangkul jasadnya.
Terpojok di sudut ruangan yang menyisakan rindu yang belum mampu terhapus dari
memoriku. Ratapan merambat yang kini ku lihat hanya gelap. Mimpi-mimpi yang
terukir, belum sempat kuceritakan padanya, mulai terkikis kenangan yang
membisu. Lantunan ayat Al’quran, zikir dan do’a tak hentinya tercurahkan melepas
kepergiannya.
Tulus
nasehatnya akan ku kenang sepanjang waktu, begitu pula dengan dekapan hangat
kasih sayangnya yang mampu meredam amarah-amarahku saat emosi menguasai diriku.
Aku memang gadis kecil yang manja belum dewasa, bahkan baru meranjak remaja
saat Bapak tinggalkan aku dengan hiruk pikuk dunia yang belum ku kenal
sepenuhnya.
Sejak
kepergian Bapak, aku menjadi gadis kecil yang kuat, tabah dan sabar dalam
segala ujian yang menghadang. Selang sebulan kepergian Bapak, aku sudah bisa
menghasilkan uang sendiri dengan mengajar les anak-anak tetangga, walaupun
masih duduk di bangku SMP namun tekadku kuat untuk membahagiakan Ibu tercinta.
Ketika
beranjak ke bangku SMA, aku mengalahkan egoku dan memilih untuk tinggal bersama
kakak sepupu di seberang kota yang jauh dari Ibu dan saudara-saudaraku, aku
hanya ingin mengejar mimpi-mimpi yang ku ukir bersama Bapak dulu.
Alhamdulillah, Allah kabulkan satu-persatu do’aku. Saat daftar kuliah, aku
mendapatkan beasiswa penuh hingga selesai, kemudian ketika tamat aku langsung mengajar di salah satu sekolah
swasta di kota perantauanku.
Begitu
indah skenario yang Allah tulis bagiku. Awalnya aku sempat berputus asa,
mengira ini ujian yang begitu berat di dalam hidupku. Di kala itu aku lupa
semua hanyalah pinjaman Allah semata, di dunia ini hanya sementara,
sewaktu-waktu akan Allah ambil seketika. Tidak akan bertanya kesiapan hambaNya.
Semua kebahagiaan bahkan bisa hilang sekejab mata atas izin Allah semata.
Dalam
(QS. Al-Baqarah: 216) yang artinya “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia
amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
-Selesai-
0 komentar:
Posting Komentar